Muhasabah Qolbi
Kamis, 08 Juni 2017
Syekh Abu Syuja’ berkata:
“Ja’alah itu hukumnya boleh, yaitu tertentu kepada seseorang jika seseorang tersebut bisa mengembalikan barang yang hilang kepada pemiliknya. Apabila seseorang tersebut mengembalikan barang yang hilang kepada pemiliknya, ia berhak menerima upah yang telah ditentukan sebelumnya”.
Ja’alah bisa juga disebut ji’alah. Dasar diperbolehkannya ja’alah adalah firman Allah SWT: (QS. Yusuf :72)
Ja’alah ini sudah dimaklumi sejak dulu. Di dalam shahih bukhari dan muslim ada hadis nabi yang menceritakan seorang baduwi disengat kalajengking yang dijampi oleh seorang sahabat dengan upah sekumpulan kambing, dan ada lagi contoh kasusu yang lain.
Di samping itu, ja’alah juga dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu ada hukum yang memperbolehkan ja’alah.
Upah yang diberikan kepada seseorang yang telah mengembalikan barang yang hilang tersebut harus izin orang yang mengeluarkan upah (pemilik barang).
Penerima upah tersebut boleh ditentukan siapa orangnya, misalnya pemilik barang berkata kepada Zaid: “Hai Zaid, jika kamu bisa mengembalikan budakku atau binatangku yang lepas, maka akan aku memberimu upah sekian,” penerima upah tersebut juga boleh bersifat umum, tanpa ditentukan untuk seorang saja, misalnya pemilik barang berkata: “Barang siapa bisa mengembalikan binatangku yang hilang, aku beri upah sekian.”
Apabila pemilik barang tersebut mensyaratkan upah maka seseorang yang telah mengembalikan barang yang hilang kepada pemiliknya berhak menerima upah yang telah disyaratkan itu walaupun ia tidak mendengar berita adanya upah itu langsung dari pemilknya, namun hanya dari orang yang dipercaya oleh pemiliknya untuk menyampaikan berita.
Upah yang diberikan tidak disyaratkan harus dari pemilik barang yang hilang. Jadi, apabila ada orang lain (bukan pemilik barang) mengatakan: “barang siapa bisa mengembalikan barang si Fulan yang hilang, dia akan ku beri upah sekian.” Kemudian ada oran yang bisa mengembalikan barang yang hilang itu, baik orang yang bisa mendengar berita adanya upah tersebut secara langsung dari pengucapnya atau lewat orang lain, maka dia berhak menerima upah sesuai dengan yang telah ditentukan. Dasar hukumnya adalah sabda nabi Muhammad SWA:
“Orang-orang mukmin itu harus menepati syarat-syarat yang mereka janjikan.”
Disyaratkan besark kecilnya
Lisanul A'rabi
Nama lengkapnya, Muhammad bin Mukram bin Ahmad bin Habqah Al-Anshari Al-Afriqi (630-711 H/ 1232-1311 M). Nasabnya bersambung kepada Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari, dilahirkan pada bulan muharram. Muridnya Ibnu Muqir, murtadha Ibnu Hatim, Abdur Rahim Ibnu Thufail, Yusuf Ibnu almahille dan sebagainya. Beliau wafat tahun 711 H.
Aktifitas Ibnu Mandzur mencatat atau menulis karangan sepanjang hidupnya, jadi qadi dan lebih cendrung berpihak namun tidak hianat, dia alim dalam imu nahu, bahasa, sejarah, menulis, apalagi dalam sastra bagus karyanya.
Yang tidak habis pikir dalam sepanjang hidupnya adalah cita-citanya meringkas kitab-kitab yang panjang yang dikarang sebelumnya. Beliau meringkas kitab Mukhtashar al-Aghami, Mukhtashar Tarikh Baghdad (Al Kitab Al-Baghdady), Muhktashar tarikh Dimasyqu (Ibnu Asakir) Mukhtashar Mufradaa ibnu Baythar, dan mukhtashar Al-Dakhirah. Shufdi mengatakan “aku hampir tidak menemukan kitab-kitab tebal melainkan telah di ringkas oleh ibnu mandzur”. Menurut qutbuddin, putra ibnu mandzur, karya tulis ayahnya tidak kurang dari 500 jilid buku.
Cita-cita itu dengan cara meringkas ketika dia mengarang kamusnya “Lisan al-Arab" tidak merubah ringkasan kitab dari kitab-kitab kebahasaan, bahkan kamus beliau lebih besar dan luas dari pada setiap kamus-kamus sebeelumnya. Namun kadangkala keanehan itu hilang ketika kita mengetahui cara-cara yang terkumpul dalam bahan kamus ini.
Motif apa yang mendorong beliau mengarang kamusnya?
Ibnu Mandzur berkata dalam muqaddimahnya saya gemar telaah buku-buku bahasa, karang-karangan, mengi’lal tasrifnya, saya melihat pakar-pakarnya bahasa antara dua sisi. Dari sisi pengelompokannya baik namun tidak baik dalam penempatannya. Dan begitu juga sebaliknya, baiknya penempatan tidak bermanfaat apabila ada jelek dalam pengumpulannya.
Maksudnya beliau berkehendak mengumpulkan kedua kebaikan diatas dalam kamusnya: antara baiknya pengumpulan dan peletakan. Beliau membuat perumpamaan tahzibul lughah punya imam azhari dan muhkam punya Ibnu Sida’,terhadap buku-buku bahasa yang detail secara sempurna namun aibnya lemah dalam penyusunan campur baur bab. Sisi lain, dia memperbaiki penyusunan dan strukturnya dengan mengumpamakan kepada kitab as-shihah al-jauhari.
Dalam pendahuluan lisan al-arab, terdapat penjelasan bahwa kamus itu bersumber dari lima kamus populer sebelumnya, yaitu: kamus Tahdzib (al-azhari), Muhkam (ibnu sidah), al-shihah (al-jawhari), hawasyi (ibnu bari ) dan nihayah (ibnul atsir). Beliau berkata dalam kitab ini saya mengumpulkan sumber-sumber sesuatu yang terpisah dalam satu pengumpulan. Dan bersamaan dengan itu saya tidak mengaku dengan mengatakan: saya berdialog, mendengar, membuat, menguatkan, memindahkan dari arab kuno,semua pengakuan tidak ditinggalkan oleh al-Azhari dan Ibnu Sida’.
Apabila kita tahu sekarang terhadap esensi ini maka tidak akan heran ketika menjumpai al-lisan hingga mencapai 20 jilid. Beliau dalam menciptakan dan mengarang sesuatu semata-mata karena khazanah seperti yang ia katakana dalam bahasa dimaafkan dari berbagai tanggung jawab aktifitas dalam kamus ini selain benarnya mindah dari sumber-sumbernya. Dia berkata: barang siapa yang menemukan kesalahan, ataupun kebenaran maka kita kembalikan kepada pengarang pertama, pujian dan celaan, saya memindahkan dari asal muasal isinya tidak mengganti terhadap sesuatu…mendingan saya melaksanakan amanah dalam pemindahan asal muasal dengan nash dan tidak merubah pembicaraan selain yang tertera dalam nash.
Ibnu mandzur adalah seorang pakar dibidang bahasa Arab, sejarah dan fiqih. Kehebatan Ibnu Mandzur tampak pada karya tulisnya bernama kamus Lisan Al-‘Arab, sebuah kamus paling besar dan lengkap di zamannya yang sanggup menampung semua kandungan dari kamus-kamus sebelumnya seperti: kamus Al-Muhkam, Al-Shihah, tahdzib al-lughah, al-jamarah, al-nihayah, hasyisah al-shihah. Para ulama mengakui, bahwa membaca kamus karya ibnu mandzur ini, laksana telah membaca kamus-kamus pendahulunya. Tak berlebihan, jika kamus lisan al-‘arab, tergolong kamus paling lengkap, sebab ia memuat lebih dari 80.000 kata. Itu itupun belum termasuk kata-kata derivasinya. Sayangnya, menurut Abed Al-Jabiri, kamus Lisan Al-Arab yang terdiri dari banyak volume ini, tidak memuat nama-nama segala sesuatu yang berhubungan dengan alam atau industry, juga konsep-konsep teoritis dan berbagai istilah yang telah dikenal pada saat itu, abad 7 dan 8 H. dan yang ada di Kairo salah satu pusat peradaban utama dalam sejarah islam.
Kamus Lisan Al-'Arab juga sering dijadikan obyek penelitian oleh para ulama bahasa, hingga muncul beberapa karya ilmiyah seperti Tashih Al-lughah, karya ahmads taymur basya, tahdzib al-lisan karya Abdullah ismail al-shawi, amtsilah min al-aghladz al-waqi’ah fii lisan al-‘arab karya taufiq daud qurban dan tashihaat lisan al-‘arab karya abdul sattar ahmad faraj.
Karya-karya ibnu mandzur lainnya, mayoritas berupa buku ringkasan (mukhtashar) darri kitab popular sebelumnya, sehingga ia di kenal sebagai pennulis yang sanggup meringkas dari isi buku-buku besar di sungguhkannya dengan bahasa yang ringkas sehingga muda di pahami o,eh generasi selanjutnya, Ashafadi berkata,
Sistem penyusunan kosa kata dalam lisan al-arab sama persis dengan assihah (al-jauhari) yang terdiri dari beberapa kitab (nama huruf akhir) dan tiap kitab terdiri dari pasal-pasal (nama huruf awal). Perbedaan antara lisan al arab dan assihah, terletak pada masalah pengambilan riwayat. Jika al-jauhari (al-sihhah) hanya memuat riwayat makna dari syair, qasidah, atau lainnya yang memiliki nilai sahih (falid), tetapi ibnu mandur (lisan al-arab) tidak hanya m embatasi pada riwayat yanh sahih. Ia mengambil semua makna, walaupun berasal dari syahid (dalil) yang tadak sahih, karena sebuah qamus bahasa saharusnya mampu merekam (baca: kodifikasi) semua kosa kata bahasa arab.
Ibnu Mandzur memilih urutan materi kamusnya seperti yang dilakukan Jauhari sebelumnya dalam kamus shihhahnya, artinya urutan bab dan fashalnya. Jadi tidak perlu mengulang. Dalam penyusunan ini Ibnu Mandzur menyusunnya dengan mengisinya, tidak merubah, menambah atau menguranginya. Didalamnya dibahas tentang huruf yang menyimpulkan bab, dan kamu mencari sesuatu dalam kamus ini dari halaman pertama sehingga jelaslah bab yang pertama, bab alif hamzah, dengan mencari sepanjang huruf hamzah. Dalam hal ini memindahdari Imam Abbas, Jauharidan Ahmad bin Yahya.
Oleh karena itu, Ibnu Mandzur meletakkan dua fasal mukaddimah yang mengiringi permulaannya. Kadang-kadang pertamanya diperoleh dari tafsir makharijul hurufnya, yang ada di permulaan sebagian surah al-Qur’an. Setelah ini dibahas tentang sesuatu yang berhubungan dengan materi kamus itu sendiri.
Dan setelah kamus lisan al-arab itu ada, ensiklopedia yang terkandung didalamnya dari materi bahasa dan sastra. Dengan sesuatu yang berisi dalil-dalil dari sya’ir dan hadits.
Revisi pertama dilakukan oleh Abdullah Isma’il as-Shawi. Sasarannya adalah menyusun materi lisan berdasarkan urutan hijaiyyah. Dan sebagian kecil dari revisi ini terbit pada tahun 1355 H kemudian berhenti.
Sedangkan revisi kedua lebih banyak maju, karena penyusunan Muhammad an-Najari terhadap lafadz berdasarkan semua huruf hijaiyyah. Peletakan lafadznya sama saja antara mujarrad atau mazid. Dijudulnya berdasarkan runtutan semua huruf. Dalam hal ini pembahas tidak perlu banyak mengetahui runtutan hurufh ijaiyyah.
Mu'jam
Mu’jam Lisanul ‘Aroby
Makalah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata kamus dalam bahasa arab, disebut dengan istilah al-mu’jam atau al-qomus. Sedangkan pengertian kamus menurut Ahmad Abdul Ghofur Atthar adalah “ kamus adalah sebuah yang memuat sebuah kosakata yang disertai penjelasannya dan interpretasi atau penafsiran makna dari kosakata tersebut dari semua isinya disusun dengan sistematika tertentu, baik berdasarkan urutan huruf hijaiyah (lafal) atau tema (makna).
Ada beberapa istilah dalam bahasa arab yang dipakai untuk menyebutkan kamus yaitu, mu’jam, qomus, fihris, mausu’ah, ensiklopedia dan musrid (indek, glosarium). semua istilah tersebut mengarah kepada satu pengertian, bahwasanya kamus, insiklopedia, indek, glosarium adalah kumpulan kosakata yang dilengkapi makna atau artinya dan keterangan lain yang bertujuan untuk menjelaskan informasi yang berhubungan dengan kata-kata yang termuat didalam daftar tersebut. Kesemua kosakata beserta maknanya disusun secara teratur berurutan berdasarkan sistematika tertentu yang dipilih oleh penyusun kamus untuk mempermudahkan pengguna (user) atau pembaca dalam memahami makna dan informasi tentang kata yang dicari.
Keberagaman sistematika penyusun kamus dan macam-macam kamus akan kita pelajari selanjutnya dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa penulis mu’jam lisanul ‘aroby?
2. Bagaimana sistematika penyusunan mu’jam lisanul ‘aroby?
3. Apa sajakah kelebihan dan kekurangan mu’jam lisanul ‘aroby?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui biografi penulis mu’jam lisanul ‘aroby.
2. Mengetahui sistematika penyusunan mu’jam lisanul ‘aroby.
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari mu’jam lisanul ‘aroby.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Penulis Mu’jam Lisanul ‘Aroby
Mu’jam lisanul ‘aroby dikarang oleh Jamaludin Muammad bin mukram bin Ahmad bin Habqah Al-Anshari Al-Afriqi (630-711 H/ 1232-1311 M) atau lebih dikenal denagan Ibnu Mandzur. Nasabnya bersambung kepada Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari, dilahirkan pada bulan Muharram. Muridnya Ibnu Mukir, Murtadho Ibnu Hatim, Abdurrahim Ibnu Thufall, Yusuf Ibnu almahille dan sebagainya.
Aktifitas Ibnu Mandzur mencatat atau menulis karangan sepanjang hidupnya. Dia alim dalam ilmu nahwu, sharaf, bahasa, sejarah, menulis, apalagi dalam sastra bagus karyanya. Yang tidak habis pikir dalam sepanjang hidupnya adalah cita-citanya meringkas kitab-kitab yang panjang yang dikarang sebelumnya. Beliau meringkas kitab mukhtashar al-aghami, mukhtashar tarikh baghdad (al-kitab al-baghdadi), mukhtashar tarikh dimasyqu (Ibnu Asakir), mukhtashar mufradaa ibnu baytar, dan mukhtasaral-dakhirah. Shufdi mengatakan “aku hampir tidak menemukan kitab-kitab tebal melainkan telah diringkas oleh Ibnu Mandzur”. Menurut Qutbuddin, putra Ibnu Mandzur, karya tulis ayahnya tidak kurang 500 jilid buku.
Ibnu Mandzur berkata dalam muqaddimahnya saya gemar telaah kitab-kitab bahasa, karangan-karangan, meng’ilal tashrifnya, saya melihat pakar-pakarnya bahasa dalam dua sisi. Dari sisi pengelompokkannya baik namun tidak baik dalam penempatannya. Dan begitu juga sebaliknya, baiknya penempatan tidak tidak bermanfaat apabila ada jelek dalam pengumpulannya.. maksudnya beliau berkehendak mengumpulkan kedua kebaikan diatas dalam kamusnya: antara baiknya pengumpulan dan peletakan. Beliau membuat perumpamaan tahzibul lughoh punya imam Azhari dam muhkan punya Ibnu Sida, terhadap buku-buku bahasa yang detail secara sempurna namun aibnya lemah dalam penyusunan campur baur bab. Sisi lain dia memperbaiki peyusunan dan stukturnya dengan mengumpamakan kepada kitab as-Shihah al-Jauhari.
Dalam pendahuluan lisanul ‘aroby, terdapat penjelasan bahwa kamus itu bersumber dari lima kamus populer, yaitu: kamus tahdzib (al-Ajhari), Muhkam (Ibnu Sida), al-Shihah (al-Jauhari), hawasyi (Ibnu Bari), dan nihayah (Ibnu Atsir). Beliau berkata dalam kitab ini saya mengumpulkan sumber-sumber sesuatu yang terpisah dalam satu pengumpulan dan bersamaan dengan itu saya tidak mengaku dengan mengatakan: saya berdialalog, mendengar, membuat, menguatkan, memindahkan dari arab kuno, semua pengakuan tidak ditinggalkan oleh al-Azhari dan Ibnu Sida. Apabila kita sekarang terhadap esensi ini maka tidak akan heran ketika menjumpai al-lisan hingga mencapai 20 jilid. Beliau dalam menciptakan dan mengarang sesuatu semata-mata karena khazanah seperti yang ia katakan dalam bahasa dimaafkan dalam berbagai tanggungjawab aktifitas dalam kamus ini selainnya benarnya memindah dari sumber-sumbernya. Beliau berkata “Barang siapa yang menemukan kesalahan, ataupun kebenaran maka ia kembalikan kepada pengarang pertama, pujian dan celaan, saya memindahkan dari asal muasal isinya tidak mengganti terhadap sesuatu, mendingan saya melaksanakan amanah dalam pemindahan asal muasal dengan nash dan tidak merubah pembicaraan selain yang tertera dalam nash.
Ibnu Mandzur adalah pakar dibidang bahasa arab, sejarah dan fiqih. Kehebatan Ibnu Mandzur tampak pada karya tulisnya bernama kamus lisanul ‘aroby, sebuah kamus paling besar dan lengkap dizamannya yang sanggup menampung semua kandungan dari kamus-kamus sebelumnya seperti: kamus al-Muhkan, al-Shihah, Tahdzib al-Lughoh, al-Jamarah, al-Nihayah, hasyisah al-Shihah. Para ulama mengakui, bahwa membaca kamus karya Ibnu Mandzur ini, laksana telah membaca kamus-kamus pendahulunya. Tak berlebihan, jika kamus lisanul ‘aroby tergolong kamus paling lengkap, sebab ia memuat lebih dari 80.000 kata. Itupun belum termasuk kata-kata derivasinya. Sayangnya, menurut Abed Al-jabiri, kamus lisanul ‘aroby yang terdiri dari banyak volume ini, tidak memuat nama-nama segala sesuatu yang berhubungan dengan alam atau industri, juga konsep-konsep teoritis dan berbagai istilah yang telah dikenal pada saat itu, abad 7 dan 8 H dan yang ada di kairo salah satu pusat peradaban utama dalam sejarah islam.
Nama lengkap Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukram bin Ahmad bin Habqoh Al-Anshari Al-Fariqi (630-711 H/ 1232-1311 M). Nasabnya bersambung pada Ruwaifi’ bin tsabit al-Anshari, dilahirkan pada bulan Muharram, muridnya Ibnu Muqir, Murtadho Ibnu Hatim, Abdurrahim Ibnu Thufail, Yusuf ibnu Almahile dan lain sebagainya. Beliau wafat pada tahun 711 H dan Ibnu Mandzur adalah seorang pakar dibidang bahasa arab, sejarah, dan fiqih.
2. Sistematika Penuyusunan Mu’jam Lisanul ‘Aroby
Dalam sistematika penyusuna mu’jam ‘arobiyah yang digunakan leksikolog itu ada 2 macam: (a). sistem makna (kamus ma’ani) dan (b). sistem lafal (kamus alfadz). Sistem makna adalah model penyusunan kosakata didalam kamus yang digunakan seorang leksikolog dengan cara menata kata kamus secara berurutan berdasarkan makna atau kelompok kosa kata yang maknanya sebidang (tematik). Sedangkan sistem lafal adalah kamus yang kata-kata (item) didalamnya tersusun secara berurutan berdasarkan urutan lafal dari kosakata yang terhimpun, bukan melihat pada makna kata.
Dalam sejarah perkembangan leksikon bahasa arab, paling tidak terdapat 5 model sistematika yang pernah digunakan leksikolog arab dalam menyusun kamus lafal, yaitu:
A. Susunan Menurut Penentuan Makhraj (fonetik)
B. Susunan Menurut Penentuan Abjad Khusus (alfabetis khusus)
C. Susunan Menurut Akhiran Kalimah
Susunan menurut akhiran kalimah merupakan sistem yang penyusunn urutan kata dalam kamus didasarkan pada urutan huruf terakhir dari sebuah kata. Orang pertama kali memperkenalkan sistem ini adalah Ismail bin Ahmad al-Jawhari (w. 1003 M) dari Basrah denagn kamusnya yang berjudul al-shihah fi al-lughah atau yang dikenal dengan kamus al-shihah.
Dalam hal ini ada empat faktor yang melatarbelakangi mundulnya kamus dengan sistem ini, yaitu: (a). obsesi al-Jawhari untuk mewujudkan kamus inovatif dengan sistem baru, mengingat sistem penyusunan kamus yang telah ada sebelumnya tidak konsisten , (b). kebutuhan masyarakat sastra terhadap kamus-kamus yang bisa menghimpun kumpulan kata yang memiliki sajak yang sama, (c). kata dalam bahasa arab tidak bisa lepas dari proses derivasi, (d). munculnya banyak karya-karya sastra seperti puisi, prosa, qasidah, lagu, peribahasa dan sebagainya yang memakai sajak-sajak atau berakhiran huruf yang sama. Ada empat kamus yang menggunakan sistem ini yaitu:
1. Kamus Al-shihah (Isamil al-Jawhari, Farab Turki (w. 1003)
2. Kamus Lisanul ‘Aroby (Ibnu Mandzur, Mesir (1232-1311 M)
Kamus lisanul ‘aroby ini menggunakan sistem dengan susunan akhir kalimat. Adapaun sistematika pada kamus ini terdapat 2 sub yakni, ada yang berupa bab dan fasl. Pada sub bab ini untuk menemukan sebuah akhir kalimah sedangkan pada sub fasl menunjukkan awal kalimat yang akan dicari.
Sebagai contoh: mencari kata حَمِدَ maka yang dicari pada bab د fasl ح maka demikian juga seperti kata قعد maka akan dicari pada bab د juga namun faslnya pada fasl ق .
3. Kamus al-Muhith (fairuzabady Karzin, Iran 1329-1415 M)
4. Kamus Taj al’Arus (Murtadha al-Zabidi zabid, Yaman 1145-1205 M)
D. Susunan Abjad Normal (alfabetis umum)
E. Susunan artikulas
3. Kelebihan dan Kekurangan Mu’jam lisanul ‘aroby
1. Kelebihan kamus lisanul ‘aroby diantaranya:
A. Mencakup isi kosa kata yang luas dan berbobot.
B. Banyak memuat daftar pustaka dan sumber-sumber mu’jam sebelumnya.
C. Banyak memperbaiki kesalahan dan kekurangan mu’jam sebelumnya.
D. Banyak memberikan kata sinonim, antonim, kata langka dan lainnya.
E. Sangat memperhatikan lahjah orang arab yang berbeda-beda.
2. Kekurangan kamus lisanul ‘aroby diantaranya:
A. Melupakan (meninggalkan) beberapa rujukan mu’jam sebelumnya yang dinilai sangat berkompeten seperti mu’jam al-Maqayis karya Ibnu Faris.
B. Terdapat banyak pengulangan-pengulangan dalil. Dan hal ini wajar, mengingat mu’jam ini memang sangat mengandalkan dalil dan refensi yang terpercaya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mu’jam Lisanul ‘Aroby adalah sebuah mu’jam karangan Ibnu Mandzur, dan merupakan karangan yang paling besar dan lengkap di zamannya yang sanggup menampung semua kandungan dari mu’jam-mu’jam sebelumnya.
Dalam mu’jam lisanul ‘aroby, Ibnu Mandzur mencoba mengkodifikasi semua kosa kata arab yang digali dari mu’jam sebelumnya maupun yang ia cari sendiri, sehingga kamus lisanul ‘aroby menjadi mu’jam yang paling tebal yang berisi 80000 kata dan sejumlah derivasi kata.
Sistematika penyusunan mu’jam lisanul ‘aroby menggunakan sistem penentuan akhir kalimah. Yakni penyusunan mu’jam didasarkan pada urutan huruf terakhir dari sebuah kata. Pencarian dalam kamus tidak lagi menggunakan urutan huruf maupun makharijal huruf atau sistem alfabetis khusus. Tetapi didasarkan pada huruf yang terakhir.
Adapun kelebihan dan kekurangan dalam mu’jam lisanul ‘aroby diantara kelebihannya adalah: mencakup isi kosa kata yang luas dan berbobot, mampu memberikan kata sinonim, antonim, dan kata langka. Dan kekurangan mu’jam lisanul ‘aroby diantaranya: melupakam beberapa rujukan mu’jam sebelumnya yang dinilai sangat kompeten seperti mu’jam al-maqayis karya Ibnu Faris.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Jalaluddin Mukram Ibnu Mandzur. Mu’jam lisanul ‘Aroby. 1997/1417H
Langganan:
Komentar (Atom)





